Daeng Soetigna atau yang dikenal sebagai Bapak Angklung Indonesia adalah penemu atau pencipta alat musik Angklung yang terbuat dari bambu. Daeng Soetigna lahir 13 Mei 1908 dan meninggal 8 April 1984 adalah seorang guru yang lebih terkenal sebagai pencipta angklung diatonis. Karya dia inilah yang berhasil mendobrak tradisi, membuat alat musik tradisionil Indonesia mampu memainkan musik-musik Internasional. Ia juga aktif dalam pementasan orkes angklung di berbagai wilayah di Indonesia.
Pak Daeng Soetigna Lahir di Garut pada tanggal 13 Mei 1908. Karena kedua orang tuanya termasuk bangsawan Sunda, Pak Daeng beruntung dapat menikmati pendidikan zaman Belanda yang saat itu masih sangat terbatas bagi pribumi. Sekolah yang sempat dia enyam adalah: HIS Garut (tahun 1915 - 1921), sebagai murind angkatan kedua dan Sekolah Raja (Kweekschool) Bandung (tahun 1922). Tahun 1923 Kweekscholl diubah namanya menjadi HIK (Hollands Islandsche Kweekschool). Daeng akhirnya lulus tahun 1928.
Setelah lulus HIK, Daeng langsung menjadi guru. Nantinya pada umur 45 tahun, Pak Daeng menngikuti beberapa pendidikan lanjut: Tahun 1954, Pak Daeng ikut kursus B-1 (setara D-3), dan berhasil lulus ujian akhir. Namun Pak Daeng tidak mendapat ijazah Diploma, karena menurut panitia dia tidak berhak dan Tahun 1955, dikirim bersekolah di Teacher's College Australia sebagai salah satu kontingen dalam program Colombo Plan.
Keluarga - Pak Daeng Soetigna menikah dua kali: Istri pertama adalah Ugih Supadmi (menikah tahun 1930, bercerai tahun ...), dan dikaruniai tiga orang anak yaitu: Aam Amalia, Tedja Komala dan Emma. Berikutnya Istri kedua adalah Masjoeti (menikah tahun 1938), mendapat empat orang anak: Iwan Suwargana, Erna Ganarsih, Itin Gantinah, dan Utut Gartini.
Pak Daeng pensiun sebagai pegawai negari sipil pada tahun 1964 (saat berumur 56 tahun). Dengan bebasnya dia dari tugas rutin sebagai pegawai pemerintah, maka Pak Daeng aktif mengembangkan angklung. Dia melatih di berbagai kelompok angklung seperti SD Soka, SD Santo Yusup, dan SD Priangan. Demikian pula perkumpulan ibu-ibu Militer maupun suster di gereja RS Borromeus. Atas jasa-jasanya, pada masa tuanya inilah Pak Daeng mulai memperoleh berbagai penghargaan, termasuk SATYA LENCANA KEBUDAYAAN dari Presiden RI.
Setelah pengabdiannya yang panjang dalam mengangkat musik angklung dari kelas pengemis ke kelas konser, Pak Daeng Soetigna wafat pada tanggal 8 April 1984, dan dikebumikan di Cikutra, Bandung. Karya terbesar Pak Daeng Soetigna adalah memodifikasi Angklung yang tadinya bernada pentatonis menjadi diatonis. Angklung ini kemudian diberi nama kehormatan sebagai Angklung Padaeng. Selain itu, Pak Daeng juga seorang komposer yang telah menulis puluhan aransemen lagu angklung.
Pak Daeng Soetigna Lahir di Garut pada tanggal 13 Mei 1908. Karena kedua orang tuanya termasuk bangsawan Sunda, Pak Daeng beruntung dapat menikmati pendidikan zaman Belanda yang saat itu masih sangat terbatas bagi pribumi. Sekolah yang sempat dia enyam adalah: HIS Garut (tahun 1915 - 1921), sebagai murind angkatan kedua dan Sekolah Raja (Kweekschool) Bandung (tahun 1922). Tahun 1923 Kweekscholl diubah namanya menjadi HIK (Hollands Islandsche Kweekschool). Daeng akhirnya lulus tahun 1928.
Setelah lulus HIK, Daeng langsung menjadi guru. Nantinya pada umur 45 tahun, Pak Daeng menngikuti beberapa pendidikan lanjut: Tahun 1954, Pak Daeng ikut kursus B-1 (setara D-3), dan berhasil lulus ujian akhir. Namun Pak Daeng tidak mendapat ijazah Diploma, karena menurut panitia dia tidak berhak dan Tahun 1955, dikirim bersekolah di Teacher's College Australia sebagai salah satu kontingen dalam program Colombo Plan.
Keluarga - Pak Daeng Soetigna menikah dua kali: Istri pertama adalah Ugih Supadmi (menikah tahun 1930, bercerai tahun ...), dan dikaruniai tiga orang anak yaitu: Aam Amalia, Tedja Komala dan Emma. Berikutnya Istri kedua adalah Masjoeti (menikah tahun 1938), mendapat empat orang anak: Iwan Suwargana, Erna Ganarsih, Itin Gantinah, dan Utut Gartini.
Pak Daeng pensiun sebagai pegawai negari sipil pada tahun 1964 (saat berumur 56 tahun). Dengan bebasnya dia dari tugas rutin sebagai pegawai pemerintah, maka Pak Daeng aktif mengembangkan angklung. Dia melatih di berbagai kelompok angklung seperti SD Soka, SD Santo Yusup, dan SD Priangan. Demikian pula perkumpulan ibu-ibu Militer maupun suster di gereja RS Borromeus. Atas jasa-jasanya, pada masa tuanya inilah Pak Daeng mulai memperoleh berbagai penghargaan, termasuk SATYA LENCANA KEBUDAYAAN dari Presiden RI.
Setelah pengabdiannya yang panjang dalam mengangkat musik angklung dari kelas pengemis ke kelas konser, Pak Daeng Soetigna wafat pada tanggal 8 April 1984, dan dikebumikan di Cikutra, Bandung. Karya terbesar Pak Daeng Soetigna adalah memodifikasi Angklung yang tadinya bernada pentatonis menjadi diatonis. Angklung ini kemudian diberi nama kehormatan sebagai Angklung Padaeng. Selain itu, Pak Daeng juga seorang komposer yang telah menulis puluhan aransemen lagu angklung.
Tag :
Musisi