
Karya Pram yang penuh dengan kritik sosial membuatnya sering keluar masuk penjara. Pram pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa orde lama. Kemudian selama orde baru ia ditahan selama 14 tahun sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan. Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan seringkali ditempatkan di Jakarta di akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen dan buku sepanjang karier militernya dan dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia kemudian tinggal di Belanda sebagai bagian program pertukaran budaya, dan saat kembali ia menjadi anggota Lekra, organisasi sayap kiri di Indonesia.
Beberapa karya Pram dilarang untuk dipublikasikan karena dianggap mengganggu keananan negara pada masa pemerintahan Presiden Soekarno maupun Soeharto. Misalnya pada tahun 1960-an, ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-komunis Tiongkoknya. Bukunya yang berjudul Hoakiau di Indonesia dicabut dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia. Meskipun demikian, Pram mendapatkan banyak penghargaan dari lembaga-lembaga di luar negeri. Potret kehidupan Pram yang dibenci di negeri sendiri tetapi dihargai dunia membuatnya tetap optimis dan tidak pernah berhenti berkarya.

Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Tepatnya pada 27 April 2006 kesehatan Pram memburuk. Ia didiagnosis menderita radang paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah dijangkitnya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes. Upaya keluarga untuk merujuknya ke rumah sakit tidak membawa banyak hasil, malah kondisinya semakin memburuk dan akhirnya meninggal pada 30 April 2006 di Jakarta.
Tag :
Sastra